KABUPATEN Indramayu tercatat sebagai warga paling bahagia se Jawa Barat (Jabar). Hal ini tertuang dalam Indeks Pembangunan Keluarga (IBangga) yang dirilis pemerintah pusat dan provinsi. Dari 27 kabupaten dan kota di Jabar, Kabupaten Indramayu menempati peringkat pertama IBangga.
Ada tiga kriteria indeks yang menjadikan Kabupaten Indramayu mendapat nilai tertinggi. Ketiga kriteria itu adalah Indeks Ketentraman (56,40), Indeks Kemandirian (51,27) dan Indeks Kebahagiaan (52,76).
Jika dirata-ratakan ketiga indeks itu tercatat sebesar 53,48, nilai tertinggi di Jawa Barat.
Angka itu bahkan diatas nilai rata-rata IBangga Jabar yakni 52,34. (cirebonraya.pikiranrakyat, 5/2/2022)
Hasil survai di atas tentu sangat mengejutkan. Sungguh kontradiktif dengan kenyataan hidup yang dihadapi masyarakat.
Di tengah pandemi saat ini dan kesulitan ekonomi justru indeks kebahagiaan meningkat. Padahal, Kabupaten Indramayu termasuk dari daerah yang termasuk paling tinggi tingkat kemiskinan ekstrem di Jawa Barat.
Sebagaimana dikutip dari data Setkab pada Oktober 2021 lalu dalam keterangannya, kemiskinan ekstrem di Kabupaten Indramayu mencapai 6,15 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 106.690 jiwa.
Persoalan kemiskinan di negeri ini memang menjadi persoalan lama yang tak kunjung selesai.
Ironis memang, di negeri yang sangat melimpah sumber daya alamnya. Bahkan dikenal dengan ‘negeri agraris’, tingkat kemiskinan semakin tinggi. Ternyata, potensi SDA tersebut tidak mampu dimanfaatkan dengan baik untuk membangun pilar-pilar kesejahteraan rakyat.
Merasakan kesejahteraan di dalam hidup tentu menjadi keinginan masyarakat. Namun demikian, kondisi kemiskinan hari ini disebabkan penerapan sistem sekularisme kapitalisme yang bertolak belakang dengan syariah Islam. Dan semestinya masalah kemiskinan menjadi tanggung jawab negara dalam mencari solusi sesuai syariat Allah.
Ada yang beranggapan, kemiskinan disebabkan karena perempuan tak berdaya di sektor ekonomi. Tentu saja anggapan tersebut tidaklah benar. Kemiskinan sesungguhnya adalah buah sistem kapitalisme yang meniscayakan kebijakan pasar bebas kapitalis, privatisasi sumber daya alam, meniadakan subsidi, dan ekonomi berbasis riba dan bertumpu pada sektor nonriil.
Program pemberdayaan hanya akan menjauhkan para perempuan dari fungsi fitrahnya sebagai ibu generasi (ummu al-ajyal). Posisi perempuan sebagai tulang rusuk yang wajib dinafkahi, justru digeser orientasinya sehingga menjadi tulang punggung nafkah keluarga. Semakin besar penghasilan seorang perempuan dianggap lebih mulia, lebih tinggi derajatnya.
Adapun seorang ibu rumah tangga biasa, jelas dipandang tak produktif oleh program ini, bahkan dianggap sebagai parasit.
Padahal, jika orientasi kaum perempuan yang sekaligus kaum ibu ini terpalingkan dari ummun wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah suaminya) dan ummu al-ajyal (ibu generasi), maka bagaimana nasib institusi keluarga berikut generasi di dalamnya?
Tak heran bila kemudian marak terjadi kekerasan dalam rumah tangga, perceraian terutama kasus cerai gugat terus meningkat dan kerusakan generasi menjadi semakin massif, semisal tawuran, narkoba, kejahatan anak, kecanduan games online, seks bebas, dan sebagainya.
Hal ini menegaskan, sesungguhnya standar kebahagiaan dalam kapitalisme merupakan standar absurd dan menipu.
Kapitalisme memandang, kehidupan ini berporos pada kepentingan materi semata. Menjadikan hidup bertujuan hanya untuk memperoleh materi sebanyak-banyaknya. Kerja pagi sampai malam hanya untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Berbeda dengan standar kapitalisme, sesungguhnya Islam memandang kebahagiaan diukur bukan dari capaian materi semata, melainkan terletak pada keridhaan Allah sang Pencipta. Kebahagiaan yang hakiki hanya akan terwujud dengan penerapan aturan-Nya yang sempurna.
Islam memandang kesejahteraan adalah masalah orang per orang. Maka selama masih ada orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya, masyarakat belum dikatakan bahagia dan sejahtera. Begitupun Islam tidak menilai kesejahteraan dari angka.
Ustaz Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizham al Iqtishadi fi al Islam menjelaskan, Islam memiliki politik ekonomi yang khas.
Politik ekonomi ini menjamin terealisasinya pemenuhan semua kebutuhan primer setiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan dirinya untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan standar kehidupan masyarakat di mana dia tinggal.
Dengan demikian, negara mengusahakan setiap orang mampu meraih kesejahteraannya dengan memberikan jaminan untuk memperoleh nafkah dari hasil kerjanya. Bila ada warga yang tak mampu mencari nafkah, kewajiban negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhannya sehingga ia bisa hidup layak seperti anggota masyarakat lainnya.
Itulah sebabnya Rasulullah SAW menyifati pemimpin sebagai pengurus rakyat.
Beliau bersabda, “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Dalam masalah pendidikan dan kesehatan, Islam juga memiliki konsep tersendiri. Kedua aspek ini dimasukkan dalam kebutuhan pokok rakyat sehingga negara wajib untuk menjaminnya.
Untuk bisa menjalankan pengurusan atas semua kebutuhan rakyat, Islam menetapkan seperangkat aturan yang menjamin negara mampu memenuhinya.
Islam menjadikan adanya harta milik umum dan milik negara di samping milik individu. Harta milik umum dan negara inilah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan rakyat, seperti harta yang didapat dari eksploitasi tambang, hutan, laut, dan seluruh isinya.
Negara tidak dibolehkan untuk menyerahkan harta milik umum ini pada individu atau kelompok tertentu, tapi negara menguasai dan megelolanya, yang hasilnya dikembalikan lagi pada rakyat untuk memakmurkan mereka.
Tidak hanya yang bersifat fisik, syariat Islam juga menjamin pemenuhan kebutuhan nonfisik, seperti penjagaan terhadap jiwa, agama, akal, dan kehormatan manusia. Semua penjagaan ini tercakup dalam apa yang disebut maqashid asy-syariah, yaitu tujuan dari penerapan syariat yang dijalankan oleh negara.
Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya buah sistem ekonomi semata, melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial.
Inilah satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan konsep kesejahteraan secara riil dalam kehidupan karena menjangkau orang per orang. Inilah yang menghantarkan masyarakat bisa terukur indeks kebahagiaan sesuai kenyataan hidup yang dihadapinya. ***
Wallahu a’lam bishshawwab