MARAKNYA kasus kriminal anak akhir- akhir ini sungguh sangat meresahkan. Dari hari ke hari kian meningkat. Terbaru, polisi menangkap 4 anak terkait mayat terikat, 3 diantara pelaku adalah siswa SMP dan SD.
Penemuan mayat dalam karung dibawah jembatan rel kereta api, yang berusia 13 tahun dan pelakunya adalah teman sekelas korban.
Sementara puluhan hingga ratusan kasus dalam kurun waktu 2 tahun terakhir juga marak terjadi, diantaranya pencurian, narkoba, penganiayaan, pelecehan, senjata tajam, pembunuhan dan pemerkosaan.
Maraknya kejahatan anak ini tentu merupakan alarm bagi masyarakat dan negara. Kriminalitas yang dilakukan anak saat ini menuai pro dan kontra terkait pemidanaannya.
Dalam pandangan hukum positif saat ini, pelaku yang masih dibawah umur tidak bisa dipidanakan, pada akhirnya tidak ada sanksi yang tegas bagi pelakunya.
Terkait definisi anakpun saat ini terdapat perbedaan.
Menurut Undang Undang (UU) berbeda beda tergantung pada Undang Undang yang dimaksud, seperti UU Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
UU Perlindungan Anak mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara definisi anak menurut WHO adalah: anak adalah individu yang berusia mulai dari dalam kandungan hingga berusia 19 tahun.
Penetapan usia yang berbeda beda menunjukkan tidak jelasnya negara dalam mengurus permasalahan anak. Belum lagi rujukan mana yang dianggap benar, wajar saja jika masalah tidak pernah bisa diselesaikan.
Pada akhirnya penetapan hukum pun tidak jelas dimana pelaku tidak diberi hukuman, dengan alasan masih dibawah umur. Hal tersebut malah akan mencederai rasa keadilan, sehingga wajar kalau pada akhirnya kejahatan anak semakin meluas.
Fenomena maraknya kriminalitas anak adalah buah dari buruknya sistem pendidikan kita yang sekuler. Pendidikan tidak ditujukan pada mencetak generasi bertakwa, tetapi demi tujuan materialistis atau dengan kata lain cuan. Akibatnya, lahirlah generasi yang permisif, mereka berperilaku bebas dan serba boleh. Mereka bahkan berani melakukan kejahatan demi memenuhi keinginannya.
Makin miris ketika mereka melakukan kejahatan, ternyata negara tidak memberi hukuman yang tegas karena salah dalam mendefinisikan kata “anak”. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa dijatuhi hukuman yang tegas dan menjerakan, bahkan tidak bisa ditahan, melainkan hanya direhabilitasi, padahal hakikatnya sudah balig.
Di sisi lain, peran orang tua dan masyarakat makin lemah. Amar makruf nahi mungkar tidak terwujud di tengah masyarakat. Orang tua juga kerap abai terhadap pendidikan anak di rumah karena sibuk dengan tuntutan ekonomi.
Dalam Sistem Islam, sejatinya, persoalan anak merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Keluarga, mengasuh dan membesarkan anak dengan menanamkan nilai nilai akidah, syariah dan adab. Masyarakat, melakukan fungsi kontrol sosial, amar ma’ruf nahi munkar. Negara berfungsi sebagai junnah (perisai) yang melindungi generasi dari seluruh sisi.
Sistem Islam juga menerapkan sistem sanksi yang adil dan tegas. Sedangkan orang-orang yang sudah balig diposisikan sebagai mukalaf, yaitu pihak yang bisa dibebani hukum, termasuk sanksi.
Kasus kejahatan anak membutuhkan solusi sistemik. Negara yang menerapkan sistem rusak saat ini yakni sekulerisme tidak akan pernah bisa menuntaskan problem kriminalitas anak. Hanya Sistem Islam secara kaffah lah yang dapat menyelesaikan problem anak secara tuntas dan menyeluruh.
Wallahu’alam bi Shawab