BEKASI, PastiNews – Kasus yang menjerat Wakil Ketua DPRD Bekasi Soleman, terkait jual beli mobil sarat muatan politis. Bahkan, penahanan Soleman oleh Kejaksaan Negeri Bekasi dinilai tidak berdasar dan terkesan dipaksakan.
“Bahwa dalam perkara ini kami tidak melihat adanya unsur pidana, karena peristiwa hukum yang disangkakan oleh jaksa terhadap klien kami sebenarnya hubungan perdata biasa yaitu jual beli mobil,” beber kuasa hukum Siswadi, Rabu 30 Oktober 2024.
Dikatakan, kliennya membeli sebuah mobil melalui orang bernama R dengan cara membayar secara bertahap sebanyak 2 kali.
Berdasarkan bukti yang disampaikan kliennya kepada penyidik, pembelian mobil yang dimaksud telah dibayar lunas oleh Soleman.
“Kemudian saat ini klien kami dijadikan tersangka terkait peristiwa tersebut dengan sangkaan gratifikasi, tentu ini sangat aneh dalam nalar hukum yang kami pahami,” tanyanya.
Menurut Siswadi, kasus ini sarat nuansa politik yang sangat kuat, lantaran kliennya ditetapkan sebagai tersangka 28 hari jelang hari pencoblosan Pilkada 2024.
Seperti diketahui, kliennya adalah tim pemenangan pasangan calon kepala daerah yang terdaftar pada KPU, sehingga merupakan peserta pemilu kepala daerah.
“Padahal Kejaksaan Agung telah mengeluarkan memorandum terkait dengan penundaan pemeriksaan pidana terhadap peserta pemilu dan pemilukada, untuk menghindari black campaign serta menjaga proses demokrasi berjalan baik,” tegasnya.
Siswadi menduga kliennya adalah target operasi pihak-pihak tertentu jelang Pilkada Kabupaten Bekasi 2024.
“Soleman adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bekasi, Wakil Ketua DPRD terpilih Kabupaten Bekasi periode 2024-2029, sekaligus tim inti strategi dan pemenangan salah satu pasangan Bupati pada Pilkada Bekasi,” bebernya.
Ia menduga, kliennya harus ditahan dan dilumpuhkan agar mental pendukung jatuh dan menjadi lemah.
“Pemeriksaan dan penahanan klien kami dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Bekasi (seksi pidana khusus) saat masa Pilkada Kabupaten Bekasi 2024 sedang berlangsung,” cetusnya.
Ia juga mengatakan pemeriksaan dan Penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi kepada Soleman dinilai kurang tepat.
“Dugaan kami, Soleman sebagai target operasi harus dilumpuhkan, atau jangan-jangan merupakan Operasi Senyap Penggembosan secara terstruktur?,” katanya.
Lebih jauh Siswadi mengungkapkan, sesuai Instruksi Jaksa Agung Nomor 6 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Peran Kejaksaan dalam mendukung dan menyukseskan penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024.
Instruksi tersebut, imbuhnya, menjadi pedoman bagi semua pegawai kejaksaan dalam bersikap dan bertindak pada Pemilu 2024 sekaligus sebagai antisipasi agar kejaksaan tidak terseret dalam kepentingan politik praktis.
“Seandainya pun apa yang dilakukan oleh Soleman (diduga) menyalahi hukum terkait gratifikasi kepada penyelenggara aparatur negara, tentu masih harus dibuktikan di Pengadilan. Tapi mengapa prosesnya dilakukan sangat cepat dan mendadak di saat proses resmi pilkada berlangsung? Bukankah bisa dilakukan penundaan pemeriksaan dan penahanan setelah proses penghitungan Pilkada selesai? Apa urgensinya bagi Kejaksaan Negeri memaksakan itu semua? Toh Soleman selalu koperatif pada pemeriksaan sebelumnya,” paparnya.
Siswadi menilai Kejaksaan Negeri Bekasi bersikap ambigu dan tidak fair lantaran kasus ini diduga juga melibatkan pihak lain, seperti oknum anggota DPRD Kabupaten Bekasi yang lain
“Tetapi mengapa tidak dilakukan langkah hukun yang sama- pemeriksaan dan penahanan- yang sama kepada yang lain?” ujar Siswadi.
Siswadi juga mengutip pernyataan Kejaksaan Negeri Bekasi terkait keterlibatan oknum anggota DPRD sebagai penerima
Dalam kasus ini, Kejari Kabupaten Bekasi masih menunda proses pemeriksaan menyusul adanya Instruksi Jaksa Agung (INSJA) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Optimalisasi peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam mendukung dan menyukseskan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024. ***