KELANGKAAN bahan pokok termasuk minyak goreng, bukan baru kali ini saja kita alami. Jauh sebelumnya juga pernah menimpa masyarakat. Bahkan hingga saat ini, meski harganya dinilai terlalu mahal, minyak goreng sulit ditemukan dipasaran.
Menurut Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat Fitry Agustine, pihaknya mengaku komoditas minyak goreng di pasaran masih mengalami kelangkaan.
Pemantauan langsung dilakukan ke delapan titik mulai dari pasar hingga pertokoan. Minyak goreng yang berada di pasar tradisional terutama kemasan sederhana dan premium langka.
Kenaikan harga minyak goreng memang menjadi salah satu persoalan yang berlarut-larut sejak awal tahun 2022 bersamaan dengan kenaikan beberapa bahan pokok lainnya. Tentu saja hal ini menimbulkan keresahan masyarakat.
Ditengah semrawutnya persoalan ini, pemerintah mengambil beberapa upaya penyelesaian.
Pertama, memberlakukan operasi pasar murah.
Hampir semua pemerintah provinsi di Indonesia memberlakukan operasi pasar murah, begitu pun provinsi Jawa Barat. Mereka bekerja sama dengan pihak swasta, terutama perusahaan atau distributor minyak goreng untuk menggelar operasi ini. Harga jual rerata Rp14.000 per liter. Per orang dibatasi membeli dua liter saja.
Kedua, kebijakan satu harga.
Sebagai awal pelaksanaan, penyediaan minyak goreng satu harga dilakukan melalui ritel modern yang menjadi anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Pasar tradisional diberikan waktu satu minggu untuk melakukan penyesuaian.
Ketiga, Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Kebijakan DMO dan DPO mulai berlaku pada 27 Januari 2022. Eksportir memiliki kewajiban memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari total volume ekspor masing-masing setelah aturan itu terbit.
Seiring dengan penerapan kebijakan DMO dan DPO, pemerintah juga menetapkan aturan harga eceran tertinggi (HET) melalui Permendag 6/2022 untuk tiga jenis minyak goreng siap edar, yakni curah (Rp11.500/liter), kemasan sederhana (Rp13.500/liter), dan kemasan premium (Rp14.000/liter)
Selain itu upaya mendistribusikan minyak goreng bersubsidi terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus menyeimbangkan harga minyak agar tidak terus melonjak. Namun sayang mekanisme pendistribusian masih menimbulkan resiko panic buying dan antrian yang mengular.
Jika ditelisik, pangkal persoalannya adalah penguasaan usaha kelapa sawit dan juga minyak goreng, serta berbagai produk turunannya berada di tangan korporasi.
Operasi pasar, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) komoditas pangan sama sekali tidak efektif menstabilkan harga. Malah justru menimbulkan kondisi distorsi ekonomi.
Sementara Kebijakan DMO hanya menunjukkan ketakberdayaan negara di hadapan korporasi, dimana harga minyak goreng tergantung korporasi.
Dikuasainya lahan-lahan secara terpusat oleh segelintir orang menciptakan oligarki. Hal ini adalah dampak diberlakukannya aturan kapitalisme yang memiliki paradigma keliru yang menilai segala sesuatu termasuk pangan sebagai komoditas untuk diperdagangkan.
Produksi pangan bertujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi demi mendapatkan pendapatan, walaupun hanya segelintir orang yang merasakannya.
Dari kekeliruan paradigma, menimbulkan fatal tataran praktis di lapangan, salah satunya adalah kesalahan tata kelola lahan. Saat ini tidak ada mekanisme yang mengatur pengelolaan lahan untuk menghilangkan dominasi korporasi terhadap penyediaan suplai bahan pangan termasuk lahan sawit.
Hal ini terlihat dari data penguasaan lapangan usaha di sektor ini yang memang didominasi oleh korporasi-korporasi besar, sementara negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Saat ini cenderung korporasi mengambil alih kekuasaan terhadap lahan milik umum.
Kondisi ini tentu berbeda dengan aturan Islam yang mendudukan pangan sebagai persoalan berkaitan erat dengan politik dan peran strategis sebuah negara.
Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan primer (pangan, sandang, papan) sehingga sangat memperhatikan pentingnya memperbanyak produksi sekaligus memiliki konsep bagaimana distribusi hasil produksi ini sampai ke masyarakat.
Negara di dalam Islam, menetapkan kebijakan untuk rakyat guna menjalankan kewajiban sebagaimana ketetapan Allah dan Rasul-Nya, yaitu untuk mewujudkan pengurusan yang benar dan tepat terhadap segala urusan rakyat.
Yaitu dengan menjalankan syariat Islam secara kaffah, termasuk pengurusan pangan. Mulai dari hulu, yaitu sektor produksi hingga pada konsumsi, bagaimana agar setiap individu rakyat mampu dan bisa mengakses bahan kebutuhan pokok mereka terkait kebutuhan minyak goreng ini.
Sistem Islam meniscayakan adanya peran utama negara sebagai penanggung jawab atas seluruh urusan dan kebutuhan rakyat, serta tidak bergantung pada pihak mana pun.
Ada beberapa kebijakan utama yang akan diambil oleh negara. Pertama, mengatur kembali masalah kepemilikan harta yang sesuai Islam dengan menerapkan tata kelola lahan sesuai syariat Islam.
Individu dan swasta tidak diperbolehkan menguasai harta milik umum, seperti hutan misalnya, yang hari ini dijadikan sebagai perkebunan milik pribadi oleh para korporasi. Apalagi kemudian hutan-hutan dibuka dengan cara-cara yang merusak sehingga dampak dari kerusakan itu diderita oleh masyarakat secara umum.
Kedua, negara melaksanakan politik pertanian Islam untuk menjamin ketersediaan pasokan barang di dalam negeri, terutama mengupayakan dari produksi dalam negeri dengan mengoptimalkan para petani dan para pengusaha lokal. Di dalam Islam politik pertanian sendiri memiliki 2 kebijakan yang khas yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi lahan yang sudah ada harus dioptimalkan untuk penyediaan suplai bahan pangan dan mencegah alih fungsi lahan pertanian. Hal ini perlu disokong dengan sarana kemajuan teknologi pertanian yang dapat diadopsi para petani secara langsung.
Selanjutnya ekstensifikasi pertanian yang bertujuan untuk memperluas atau menambah lahan pertanian. Jika dengan lahan yang ada kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi, harus ada pertambahan lahan.
Misalnya dengan cara mendorong masyarakat menghidupkan semua lahan-lahan yang mati atau tandus untuk produktif atau bisa juga memberikan tanah milik negara kepada para petani yang tidak memiliki lahan.
Ketiga, negara menjalankan politik distribusi perdagangan dengan melakukan pengawasan terhadap rantai niaga sehingga tercipta harga kebutuhan atau barang-barang secara wajar dengan pengawasan.
Pasar akan terjaga dari tindakan-tindakan curang, seperti penimbunan, penetapan harga, penipuan, dan sebagainya. Pengawasan ini pun ditetapkan oleh negara dengan adanya struktur tertentu di dalam negara Islam, yakni Qadhi Hisbah.
Dari sini jelas, persoalan stabilitas pangan termasuk minyak goreng hanya bisa diselesaikan dengan solusi Islam, yang integral melalui penerapan Islam secara kaffah.
Oleh karena itu yang terpenting adalah negara harus bisa melepaskan diri dari hegemoni penjajahan Barat sehingga keluar dari kungkungan penjajahan.
foto : www.cnnindonesia.com
Wallahu a’lam bishshawab