SIAPA yang dimaksud Bahlil Lahadalia tentang si “Raja Jawa” itu? Tentu, publik paham. Siapa lagi kalau bukan Joko Widodo, penguasa Indonesia saat ini, yang siap habis masa jabatannya pada 20 Oktober tahun ini.
Apa yang disebutkan Bahlil sungguh menarik untuk ditelaah lebih jauh, terlebih terdapat sambungan kalimat, “Kalau macam-macam, akan sulit kita nanti. Jadi, jangan coba-coba macam-macam”. Wow…
Ada beberapa makna yang dapat dilansir lebih jauh dari diksi “Raja Jawa”.
Pertama, pelecehan sejarah. Hingga kini, belum ada penelitian geneologis tentang silsilah Joko Widodo dari keluarga kerajaan di Tanah Jawa.
Memang, banyak kerajaan di Tanah Jawa ini. Tapi, baru kali ini ada seseorang yang menyebut Jokowi merupakan trah kerajaan.
Data yang beredar, Jokowi putera seorang tentara komunis: Oei Hong Liong, beretnis China (RRC). Maka, keluarga kerajaan yang ada – katakanlah Sri Sultan Hamengku Buwono X – layak menyikapi kritis. Kepo, tapi untuk meluruskan entitas kerajaan di tengah Nusantara ini.
Kedua, pernyataan Bahlil sesungguhnya mengkonfirmasi bahwa kelakuan kekuasaan Jokowi lebih dari seorang presiden. Negeri ini milik pribadinya. Tak perlu dibingkai konstitusi, apalagi UU. Terserah dirinya mau mengambil tindakan apapun. Tak boleh dihalangi oleh siapapun. Bagai seorang raja yang absolut kekuasaannya. Rakyat harus sendiko dawuh.
Praktik kekuasaan seperti itu dapat kita saksikan faktanya. Dia sesuka hati mengacak-acak konstitusi dan UU. Mudah melanggarnya tanpa merasa salah atas tindakan yang diambilnya. Tanpa risi kelakuannya menggarong sumber daya alam.
Dirinya merasa, sebagai sang raja, maka ia berprinsip, “Sejauh mata memandang adalah miliknya”, termasuk sumber daya mausia. Itulah cara pandang seorang raja.
Karena itu – sebagai hal ketiga – tak ada cerita toleransi kepada siapapun yang menghalangi cara pandangnya. Megawati dan atau PDIP selaku partai yang membesarkannya pun dilibas, karena dinilai menghalangi cara pandang dan kekuasaan yang ada di pundaknya. Semuanya disikat tanpa ampun.
Dalam hal ini, pernyataan Bahlil tentang “jangan coba-coba, akan sulit kita…”. Pernyataan ini sungguh mengkofirmasi tindakan Jokowi selama ini. Pernyataan Bahlil juga memang faktual. Siapapun yang berlawanan dengan dirinya, bahkan yang dinilai berpotensi sebagai penghalang, pasti disikat.
Seluruh rakyat – sekali lagi dalam perspektif budaya politik kerajaan – haruslah menghamba. Tak kenal istilah kesetaraan seperti yang dianut dalam sistem demokrasi. Rakyat selaku hamba, tak berhak menuntut dan berposisi sejajar apalagi lebih tinggi dibanding sang raja.
Itulah pandangan sang raja otoriter.
Persoalannya, Jokowi bukan sang raja, tapi sang presiden di sebuah negara yang berbentuk Republik. Karena itu, pandangan atau apapun tindakan Jokowi yang mempersamaan diri sebagai raja tak bisa dibiarkan. Rakyat bukanlah penghamba atau komoditas pemuas nafsu sang Jokowi, tapi punya harga diri dan hak untuk dinikmati bagi setiap individu.
Sekuat apapun diback up oleh kekuatan pertahanannya, semuanya dipagari oleh konstitusi dan perundang-undangan. Sebagai negara hukum, semuanya harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, tidak terkecuali presiden.
Yang menarik untuk digaris-bawahi – sebagai hal keempat – Bahlil mengeluarkan statemen pas di saat kondisi politik panas memuncak. Maka, pernyataan itu memperkuat pendulum untuk melakukan perlawanan. Apa yang dilalukan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI – meski akhirnya dicabut – diduga kuat merupakan aksi yang diyakini sebagai perintah implisit Jokowi.
Karena itu, reaksi pun meluas. Tidak hanya di arena Senayan, tapi berbagai daerah pun melakukan aksi anarkis.
Keserempakan aksi, karena rakyat sudah muak menyaksikan gaya kepemimpinannya yang diktator dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena itu, kita dapat memahami, tindakan yang mobokratif seorang Jokowi dijawab dengan penuh heroik dari berbagai kalangan, termasuk kalangan akademisi berbagai kampus.
Kiranya – sebagai hal kelima – tidaklah berlebihan jika pernyataan Bahlil bisa dijadikan momentum kesadaran berbagai elemen bangsa: it`s the time untuk mengakhiri kekuasaan Jokowi.
Tanpa harus menunggu sampai akhir jabatannya, meski tinggal menghitung hari. Justru kita saksikan, semakin dekat dengan akhir jabatannya, sang Jokowi justru semakin tak terkendali menyalahgunakan kekusaannya. Maka, apapun argumentasinya harus distop. Dan caranya hanya satu: hard landing.
Sangat boleh jadi, kepergiaan Kaesang ke AS bagian dari ancang-ancang menyelamatkan diri. Entah kapan waktunya, Jokowi sekeluarga menyusul. Akan hidup dalam pengasingan. Lebih baik terbang lebih awal sebelum rakyat mengadili secara “rimba”.
Hal ini pun mengkonfirmasi banyak analisis, “Jokowi akan berakhir sebelum tanggal 20 Oktober mendatang”.
Bahkan, catatan yang lebih ekstrim dari pengamat politik seperti Eep Saefullah Fatah, Jokowi memang harus dilengserkan segera.
Itulah nasib kepala negara dan pemerintahan yang mempersamakan diri sebagai sang raja. Sang diktotor di manapun memang harus diperlakukan dengan sadis. Persis atau seimbang dengan kesadisan yang dilakukannya. Sunnatullah.