PERUNDUNGAN atau akrab disebut bullying, kian marak terjadi dikalangan pelajar.
Berdasarkan data UNICEF 2020, kekerasan di kalangan pelajar mencapai 41 persen. Sementara cyber bullying menembus 45 persen.
Angka tersebut mungkin akan jauh lebih besar di lapangan, mengingat tidak semua korban dan saksi berani berterus terang dan angkat bicara.
Di Indonesia sendiri, kasus perundungan sangat meresahkan.
Melansir detikedu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan, angka bullying di Indonesia cukup tinggi di kalangan pelajar.
Berdasarkan data yang dihimpun Juli 2023, mayoritas bullying terjadi di SD (25 persen) dan SMP (25 persen), lalu di SMA (18,75 persen) dan SMK (18,75 persen), MTs (6,25 persen) dan Pondok Pesantren (6,25 persen).
Baru-baru ini, seorang siswi di salah satu SMK Kesehatan di Cihanjuang, Cimahi Utara, Jawa Barat, berinisial N, meninggal dunia Kamis 30 Mei 2024 lalu. N diduga mengalami depresi berat akibat bullying yang dilakukan teman seangkatannya di sekolah selama tiga tahun, sejak kelas 10 hingga akhir kelas 12.
Ada apakah dengan dunia pendidikan dinegara kita yang terus menerus melahirkan siswa dan siswi yang kerap melakukan bullying.
Mirisnya, ini terjadi bukan hanya ditingkat SD namun juga di perguruan tinggi, yang seharusnya lebih bijaksana karena lebih dewasa. Ini menunjukkan, sistem pendidikan dinegara kita tidak baik-baik saja.
Buruknya lingkungan masyarakat dan keluarga kasus bullying yang dilakukan anak terus terjadi. Orang tua sibuk bekerja sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya dengan sempurna,
Ayah hanya dapat memenuhi kebutuhan anak dari segi materi, sementara ibu mendidik dengan menjejali dengan materi. Mudahnya anak mengakses informasi lewat internet, ikut berperan terjadinya kasus perundungan.
Namun, sesungguhnya ini semua hanyalah dampak. Akar masalahnya adalah akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme di negara ini.
Asas itu telah memisahkan nilai-nilai moral dan agama, yang pada akhirnya melahirkan liberalisme yang mengagung-agungkan kebebasan, hingga aturan agama makin terpinggirkan.
Pendidikan keluarga memiliki peran penting dalam melahirkan generasi berkualitas. Keluarga tidak hanya cukup berfokus pada pemenuhan materi semata. Jika keluarga bervisi pada materi semata, anak-anak yang terdidik tidak jauh berbeda, materi hanya sebagai orientasi hidup.
Ayah tidak cukup hanya sebagai pencari nafkah, namun juga sebagai pemimpin keluarga yang mendidik seluruh anggota keluarga, istri dan anak-anak. Begitu pun sosok ibu, sebagai madrasah pertama bagi sang buah hati.
Lalu bagaimana Islam menyolusi secara fundamental untuk mencegah anak melakukan bullying atau perundangan?
Islam telah menjamin, setiap anak harus mendapatkan perlindungan dan perhatian agar terhindar dari segala bentuk kezaliman ataupun keterlibatan dalam perundungan.
Bukan hanya keluarga dan masyarakat, negara pun memiliki andil besar dalam mewujudkan anak-anak tangguh berkepribadian Islam sehingga jauh dari pembuatan maksiat termasuk bullying.
Islam bertanggung jawab menerapkan aturan secara kaffah (utuh) dalam rangka mengatur seluruh urusan umat.
oleh sebab itu, upaya pencegahan dan penyelesaian perundangan harus dimulai dari ketakwaan. Karena hal ini akan mendorong setiap individu senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan. Aturan inilah yang akan membentengi umat dari kemaksiatan.
Kurikulum Islam mampu menghasilkan anak didik yang berkepribadian Islam, sehingga terhindar dari berbagai perilaku kasar, zalim dan maksiat lainnya.
Islam pun menjamin terpenuhi pendidikan memadai bagi rakyatnya secara berkualitas dan gratis. ***